Goa Belanda
Semula kawasan yang sekarang ditetapkan sebagai Kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda adalah bentangan pegunungan dari barat sampai ke timur yang merupakan tangki “air raksasa alamiah” untuk cadangan di musim kemarau. Di daerah Aliran Sungai Cikapundung yang ada di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda pada masa pendudukan Belanda dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok yang merupakan PLTA pertama di Indonesia pada tahun 1918, dimana terowongan tersebut melewati perbukitan batu pasir tufaan.
Pada masa pendudukan Belanda, perbukitan Pakar ini sangat menarik bagi strategi militer, karena lokasinya yang terlindung dan begitu dekat dengan pusat kota Bandung. Menjelang perang dunia II pada awal tahun 1941 kegiatan militer Belanda makin meningkat. Dalam terowongan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok sepanjang 144 meter lebar 1,8 meter, dibangunlah jaringan goa sebanyak 15 lorong dan dua pintu masuk setinggi 3,20 meter, luas pelataran yang dipakai goa seluas 0,6 hektar dan luas seluruh goa berikut lorongnya adalah 547 meter. Selain untuk kegiatan militer, bangunan goa ini digunakan untuk stasion radio telekomunikasi Belanda, karena stasion radio yang ada di Gunung Malabar terbuka dari udara, tidak mungkin dilindungi dan dipertahankan dari serangan udara.
Meskipun akhirnya belum terpakai optimal, namun pada awal perang dunia II dari stasion radio komunikasi inilah panglima perang Hindia Belanda Letnan Jendral Ter Poorten melalui Laksamana Madya Helfrich dapat berhubungan dengan panglima Armada Sekutu Laksamana Muda Karel Doorman untuk mencegah masuknya Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang mengangkut pasukan mendarat dengan selamat dibawah komando Letnan Jendral Hitosi Imamura.
Saluran/terowongan berupa jaringan goa di dalam perbukitan ini dinamakan Goa Belanda. Pada masa kemerdekaan goa ini pernah dipakai atau dimanfaatkan sebagai gudang mesiu oleh tentara Indonesia. Goa Belanda saat ini dapat dimasuki dengan aman dan dijadikan sebagai tempat wisata yang penuh dengan nilai sejarahnya.